Analisa Usaha Tentang Pentingnya Data Pelanggan
Seorang pengusaha akan membenahi bisnis kuliner daerah miliknya. Ia memiliki cabang di beberapa kota dengan menu khas masing-masing, mulai dari rawon khas Surabaya, gudeg khas Yogyakarta, lotek khas Bandung, hingga coto khas Makassar. Di luar itu, ia juga menjual jajanan pasar seperti klepon, onde-onde, dan lupis yang disukai masyarakat.
Sang pengusaha ingin pembenahan dimulai dari cabang terjauh. Ia beralasan: “Kalau cabang terjauh bisa dikelola dengan baik, berarti tak akan kesulitan kalau mau buka cabang di mana pun.”
Prinsip ini menunjukkan pola pikir ekspansi yang matang ingin kuasai titik terlemah agar jaringan semakin kuat.
Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Penanggung Jawab Pelanggan (PJP) cabang tersebut mengaku bahwa penjualan sudah mentok. Menurutnya, pasar di kota itu sudah jenuh. Ia menambahkan, berbagai promo sudah dicoba, tetapi tidak memberikan dampak berarti. Tim pun menjalankan aktivitas harian seperti biasa, tanpa semangat mencari solusi. Tetapi dia memilih untuk melakukan analisis situasi langsung di lapangan.
Masalah Utama: Menu Favorit Cepat Habis
Saat observasi, menyaksikan seorang pelanggan datang mencari rawon, tetapi batal membeli karena kuahnya habis. Beberapa jam kemudian, seorang ibu yang ingin membeli gudeg juga batal karena lauk khasnya sudah kosong. Sore harinya, mahasiswa yang ingin membeli lotek kecewa karena bumbu kacangnya habis. Pola ini terus berulang.
Dari situ diketahui bahwa stagnasi bukan karena pasar jenuh, melainkan karena menu favorit pelanggan tidak tersedia. Pelanggan yang datang pulang dengan kecewa berarti kehilangan potensi penjualan nyata.
Kemudian meminta crew mencatat semua loss-sales, dimana setiap kejadian pelanggan batal membeli karena menu habis. Catatan ini wajib memuat jenis menu dan jumlah porsi yang gagal terjual. Dalam tiga hari, data menunjukkan angka tinggi. Misalnya, rata-rata setiap hari hilang 20 porsi rawon, 15 porsi gudeg, dan 10 porsi lotek.
Angka ini memberi gambaran jelas: menu favorit habis lebih cepat daripada perkiraan, sehingga pelanggan tidak terlayani dengan baik.
KPI ( Key Perfomance Indicator) yang Menyesatkan
Setelah berdiskusi dengan Penanggung Jawab Pelanggan (PJP) mengenai produksi harian. Saya usulkan menambah porsi menu yang loss-sales-nya tinggi, seperti rawon dan gudeg. Namun PJP menolak. Ia khawatir jika stok berlebih, maka akan banyak sisa. KPI cabang menetapkan bahwa sisa makanan harus kurang dari 1%.
Saat kemudian menghitung HPP (harga pokok produksi) dari tiap menu. Dari perhitungan itu, sebenarnya cabang baru merugi jika sisa makanan melebihi 20%. Artinya, KPI sisa < 1% terlalu ketat dan justru merugikan. KPI ini membuat PJP lebih fokus menghindari retur daripada memenuhi kebutuhan pelanggan.
Kemudian mengajak PJP berpikir dengan logika sederhana:
“Lebih untung mana, bikin 50 porsi gudeg habis semua, atau bikin 100 porsi lalu 5% tidak terjual?”
Setelah berhitung, ia sadar jawabannya jelas lebih besar keuntungan jika produksi dinaikkan.
Ia pun mengakui: “Berarti KPI kami salah, coach.”
Menggunakan Data Kesukaan Pelanggan
- Di Surabaya, menu rawon paling banyak dicari.
- Di Yogyakarta, gudeg selalu cepat habis.
- Di Bandung, lotek menjadi favorit.
- Di Makassar, coto selalu kehabisan stok lebih awal.
Hasil Perubahan
Langkah sederhana seperti mencatat loss-sales dan menyesuaikan KPI mampu mengubah kinerja bisnis secara drastis. Penjualan meningkat, pelanggan puas karena selalu mendapat menu favorit, dan tim lebih percaya diri mengelola stok.
Pelajaran Penting
Kisah ini mengajarkan beberapa hal:
1. Menu favorit harus ditentukan dengan data. Jangan hanya berasumsi, catat menu apa yang paling sering habis dicari pelanggan.
2. KPI harus relevan. Target retur < 1% terbukti menyesatkan, padahal bisnis baru rugi jika sisa lebih dari 20%.
3. Produktivitas lebih kuat daripada promosi. Tidak ada gunanya iklan jika pelanggan tetap kecewa karena menu favorit habis.
4. Data sederhana bisa mengubah arah bisnis. Catatan harian loss-sales justru menjadi dasar strategi pertumbuhan.
Peran Productivity Specialist
Hasil akhirnya nyata: cabang kuliner yang awalnya stagnan bisa tumbuh lebih dari dua kali lipat hanya dengan mendengar suara pelanggan melalui data.
Kesimpulan
Kasus usaha kuliner daerah ini membuktikan bahwa stagnasi penjualan bukan berarti pasar jenuh. Seringkali masalahnya ada di dalam, seperti KPI yang salah dan tidak adanya pencatatan kesukaan pelanggan. Dengan data loss-sales, manajemen tahu menu favorit yang harus ditambah produksinya. Hasilnya, dalam enam bulan penjualan meningkat 100% tanpa promosi tambahan.
Pesan penting: dengarkan pelanggan melalui data, bukan asumsi. Produktivitas yang dikelola dengan benar akan selalu membuka jalan pertumbuhan.
Komentar
Posting Komentar